KUPANG, BN – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Rote Ndao belum lama ini menuntut hukuman 10 bulan penjara kepada salah satu terdakwa dalam kasus penganiayaan.
Tuntutan tersebut rupanya menuai protes dari sang ayah, YF. Dia menilai tuntutan jaksa tersebut terlalu rendah bahkan tak adil dalam kasus penganiayaan terhadap anaknya.
Terkait hal tersebut, Pengamat hukum Universitas Widya Mandira (UNWIRA) Kupang, Mikael Feka, mengatakan, jaksa penuntut umum (JPU) memiliki kewenangan penuh untuk menuntut di persidangan. Oleh karena itu, siapapun tidak boleh mengintervensi kewenangan tersebut.
Menurutnya, jaksa dalam setiap perkara tentunya akan memperhatikan fakta sidang secara proporsional disertai dengan analisis yuridisnya.
“Proporsional artinya tuntutan tidak boleh memihak kepada korban maupun pelaku melainkan melihat secara berimbang derajad kesalahan pelaku dan juga derarad kesalahan korban,” jelas Ketua Paguyuban Timor Tengah Utara (TTU) Kupang ini, Rabu, 24 Juli 2024.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, sehubungan dengan penganiayaan terhadap anak jika itu penganiayaan ringan diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 80 ayat (1) juncto Pasal 76 c mengancam pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda hingga Rp72 juta.
“Ketentuan ini tidak mengatur ancaman minimum melainkan yang diatur hanya ancaman maksimum yakni 3 tahun 6 bulan artinya jaksa diberikan kebebasan oleh pembuat UU untuk memilih tuntutan pidana kepada pelaku tidak boleh melebihi batas maksimum,” jelas Dosen Prodi Ilmu Hukum ini.
Mikael Feka berpandangan, berat ringannya tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU) dilihat dari fakta sidang yakni memperhatikan derajat kesalahan pelaku maupun korban sebagaimana saya jelaskan di atas.
“Tujuan hukum pidana bukanlah pembalasan tetapi untuk rehabilitasi atau pemulihan sehingga tuntutan jaksa harus juga memperhatikan kemauan pelaku untuk berubah dan ada rasa penyesalan dari pelaku,” pungkasnya. (*/BN)