KUPANG, berandanusantara.com – Ratusan mahasiswa dari 10 organisasi yang tergabung dalam kelompok cipayung di Kupang, NTT, Jumat (9/10/2020), menggelar aksi demonstrasi menolak pengesahan Omnubus Law atau Undang-undang Cipta Kerja.
Massa memulai aksi mereka dengan berkumpul di Bundaran Tirosa, selanjutnya melakukan long march menuju kantor DPRD NTT. Barisan mahasiswa memenuhi seluruh badan jalan Frans Seda hingga jalan El Tari, sehingga kendaraan tidak bisa melintas jalur tersebut.
Tiba di depan kantor DPRD NTT, massa menyempatkan diri Shalat Jumat menggunakan badan di jalan El Tari. Nampak beberapa anggota Polisi dari Polres Kupang Kota yang mengamankan aksi unjuk rasa mahasiswa ikut nimbrung Shalat Jumat bersama.
Setelah itu, masing-masing perwakilan organisasi mahasiswa melakukan orasi yang intinya menolak secara tegas pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, karena dianggap lebih mementingkan para kongkomerat dibanding kaum buruh atau pekerja kecil.
Massa kemudian meminta untuk bertemu dan berdialog dengan para anggota DPRD. Namun permintaan tersebut tidak terpenuhi. Ketua DPRD NTT, Emilia Nomleni bersama Wakil Ketua, Inche Sayuna dan anggota DPRD dari Partai PKB, Ana Kolin justru datang menemui mereka di depan jalan.
Meski telah datang bertemu, namun massa tetap memaksa ketiganya untuk mendekat di barisan massa, dengan alasan masih ada jarak antara massa dan perwakilan wakil rakyat. Namun permintaan itu pun tidak diindahkan pihak keamanan yang mengamankan aksi.
Karena desakan bertubi-bertubi tidak dijawab, aksi saling dorong antara massa dan Polisi mulai terjadi. Massa kemudian melempari Polisi dengan batu. Dialog antara massa dan perwakilan DPRD NTT pun akhirnya batal lantaran situasi semakin memanas.
Berulang kali aksi saling dorong disertai lemparan batu terjadi. Sejumlah Polisi pun terkena lemparan batu. Polisi yang bertugas nampak tetap sabar mengamankan aksi tersebut. Massa juga sempat membakar ban bekas.
Tiga Pelajar Diamankan
Tiga orang pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) diamankan, lantaran melempar batu ke aparat kepolisian saat mengikuti aksi unjuk rasa omnibus law, bersama ratusan mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Cipayung, Jumat (9/10).
Ketiga siswa SMA ini diamankan polisi dari tengah kerumunan, karena terlihat melempar batu ke tengah aparat, ketika massa aksi memaksa masuk ke dalam kantor Dewan Perwakilan Daerah Nusa Tenggara Timur, namun dihadang polisi.
Wakapolda Nusa Tenggara Timur, Brigjen Pol Ama Kliment Dwikorjanto kepada wartawan menegaskan, jika masa aksi melakukan demonstrasi dan dibarengi anarkis, maka akan ditindak. Karena selain tidak diberi izin, melanggar protokol kesehatan, juga menganggu ketertiban umum.
“Anak SMA ada tiga orang yang kita amankan, nanti kita ambil data-datanya dan panggil orang tuanya untuk diberi pengertian,” jelasnya.
Menurut Ama Kliment, para demonstran melanggar protokoler kesehatan karena tidak diberi izin, juga menganggu ketertiban umum, serta melempar petugas menggunakan batu dan kayu.
“Padahal kita tidak melakukan tindakan terhadap mereka, tapi mereka memprovokasi dan melempar kita dengan batu. Ini adalah resiko dari tugas kita tapi kita tetap akan menjaga dan mengajak mereka lebih santun dalam menyampaikan aspirasi . Kita kan ada aturan-aturan bagaimana memberi pendapat di depan umum, bagaimana mereka bersikap dalam berdemokrasi ini,” ungkapnya. (AM/BN)