Masalah Pekerja Migran Asal NTT di Luar Negeri Bukan Hanya Soal Jenazah

  • Whatsapp
Kepala BP3MI NTT Sumatri Hamida. (Foto: BN)

KUPANG, BN – Berdasarkan data dari Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran (BP3MI) Nusa Tenggara Timur bulan Januari hingga 10 Juli 2024, sebanyak 62 jenazah pekerja migran asal NTT yang meninggal di luar negeri.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 58 jenazah telah dimakamkan di daerah asal, 2 jenazah lainnya telah dimakamkan di luar negeri, sementara 2 jenazah lagi sedang dalam proses pemulangan.

Read More

Kepala BP3MI NTT Sumatri Hamida kepada media, Rabu (11/7/2024), mengungkapkan, dari 62 pekerja migran yang meninggal di luar negeri, hanya satu yang tercatat sebagai pekerja yang berangkat secara legal. Sementara sisanya non prosedur alias ilegal.

“Yang legal itu di negara Taiwan. Sementara kebanyakan yang ilegal itu di negara Malaysia,” ungkap Sumatri Hamida di ruang kerjanya.

Menurut Sumatri Hamidah, berbagai langkah mitigasi untuk meminimalisir terjadinya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara non prosedural. Kerja sama dilaukan dengan pemerintah daerah dan stakeholder terkait termasuk pihak Gereja dan NGO terkait.

“Dengan pihak Gereja baik GMIT dan KWI kami harapkan agar pesan migrasi bisa menjadi pesan mimbar. Apalagi berdasarkan data, 98 persen permasalahan terjadi di desa dan melibatkan umat,” ungkapnya.

“Kami sebagai pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Apalagi NTT adalah daerah kepulauan dengan jumlah desa sebanyak 3303, 15 bandara, 14 pelabuhan laut ditambah pelabuhan kecil lainnya,” sambung Sumatri.

Dia mengungkapkan, permasalahan yang dialami pekerja migran sesugungguhnya tidak hanya sebatas soal jenazah yang dipulangkan. Tetapi di balik itu, ada sejumlah permasalahan yang mesti menjadi perhatian bersama.

Pertama, menurut Sumatri, masyarakat hanya tahu pola kerja, tetapi tidak tahu pola menjaga kesehatan diri. Salah satu fakta soal ini, lanjut Sumatri adalah tingginya angka HIV AIDS yang dialami pekerja migran asal NTT di luar negeri.

“Sangat penting edukasi tentang bagaimana kesehatan kerja, ditambah gonta ganti pasangan di luar negeri. Setelah diteliti, salah satu penyimbang HIV AIDS adalah pekerja migran,” jelas Sumatri.

Berikutnya, lanjut Sumatri, banyak sekali pemulangan pekerja migran Ibu dan Anak berstatus di luar nikah. Permasalahan di luar negeri, khususnya di Malaysia, banyak pasanhan yang tidak bisa menikah hanya karena belum lunas soal belis atau mas kawin.

“Kalau dilihat soal ekonomi baik, tetapi resikonya ketika sang ayah meninggal, istri tidak pinya hak. Haknya justru kembali kepada orang tua. Bahkan warisan terkendala,” jelas Sumatri.

Sumatri menjelaskan, pekerja asal NTT di Malaysia ada 3 tipe, yakni saat proses pengiriman berstatus legal dan juga berstatus legal di sana. Ada juga yang saat diberangkatkan berstatus ilegal, sesampainya di Malaysia berstatus legal.
Hal ini diketahui saat pemulangan jenazah yang ditangani BP3MI.

“Ketika meninggal di sana (Malaysia), saat sakit hingga meninggal dan proses pemulangan difasilitasi pemerintah setempat. Ada juga asuransi dari Pemerintah Malaysia,” bebernya.

Selain itu, yang terbanyak adalah saat diberangkatkan berstatus ilegal dan sesampainya di Malaysia pun tetap berstatus ilegal.

Minim Peran Pemerintah Daerah

Suratmi Hamida juga menekankan pada minimnya peran pemerintah daerah dalam mengedukasi warganya tentang bermigrasi secara aman. Apalagi oembangunan di NTT masih difokuskan pada pembangunan fisik, bukan pembangunan manusia.

“Orang bekerja di Malaysia kebanyakan yang gagal berkompetisi di dalam negeri. Di dalam negeri ketika orang yang mau bekerja ditanya ijazah dan kompetensi,” jelas Sumatri.

“Malaysia adalah satu-satunya negara yang tidak melihat kompetensi orang. Mereka mengukur kompetensi seseorang berdasarkan kemampuan otot, bukan otak. Ketika Malaysia dengan tangan terbuka menerima keterbatasan warga kita, maka jangan heran kalau banyak yang ke sana,” ungkapnya.

Menurutnya, sebagai aparat negara pastinya tidak bisa mengikat perut orang dari rasa lapar. Apalagi ditambah dengan berbagai kebutuhan semisal biaya sekolah anak-anak, maupun kebutuhan adat istiadat sebagaimana tradisi orang NTT.

“Ketika semua pihak berteriak untuk melakukan pencegahan, sementara tidak ada solusi dari pemerintah daerah maka cerita ini akan terus berulang,” pungkasnya. (*/BN)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *