JAKARTA, BN – Anggota Komisi XI DPR RI, Julie Sutrisno Laiskodat, dan Ketua TP PKK NTT, Asty Laka Lena, menegaskan komitmen mereka untuk mengawal kasus kekerasan seksual yang dilakukan mantan Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (FWLS).
Dalam diskusi bersama Forum Perempuan Diaspora NTT di Jakarta, keduanya menyerukan hukuman maksimal bagi pelaku dan memastikan korban mendapatkan keadilan serta perlindungan.
Kasus ini pertama kali mencuat setelah Kepolisian Federal Australia (AFP) menemukan jejak digital eksploitasi anak dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Investigasi bersama Polri akhirnya mengarah kepada AKBP Fajar sebagai tersangka utama.
Barang bukti berupa tiga unit ponsel yang digunakan pelaku untuk merekam aksinya kini tengah diperiksa oleh Laboratorium Forensik Bareskrim Polri. Dugaan kuat menyebutkan bahwa rekaman tersebut tidak hanya untuk konsumsi pribadi, tetapi juga disebarluaskan melalui internet, termasuk ke situs gelap.
Dalam diskusi yang digelar Forum Perempuan Diaspora NTT pada Kamis (20/3/2025) di Jakarta, Julie Sutrisno Laiskodat menegaskan pentingnya pengawalan hukum hingga tuntas.
“Saya sangat prihatin dengan kejadian ini. Ini bukan hanya tentang satu kasus, tapi cerminan dari banyak kasus kekerasan seksual yang selama ini tidak terselesaikan di NTT. Kita tidak boleh diam. Saya akan memastikan bahwa kasus ini dikawal hingga ke pengadilan agar keadilan bagi korban benar-benar terwujud,” tegas politisi NasDem tersebut.
Julie juga menyoroti bahwa kejahatan seksual yang dilakukan aparat penegak hukum adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Ia mendesak agar polisi menggunakan pasal dengan ancaman hukuman seberat-beratnya, termasuk: Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang memungkinkan hukuman seumur hidup bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengatur hukuman tambahan berupa kebiri kimiawi bagi pelaku.
Ketua TP PKK NTT, Asty Laka Lena, turut menegaskan bahwa semua pihak harus aktif mengawal proses hukum kasus ini agar berlangsung transparan dan adil.
“Sebagai seorang ibu, sebagai Ketua PKK, saya tidak bisa tinggal diam melihat kasus seperti ini. Saya akan memantau dan mengawal proses hukum ini agar korban mendapatkan keadilan. Kita harus bersatu, perempuan harus bergerak bersama,” tegasnya.
Asty juga meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan perlindungan serta pemulihan bagi para korban. Selain itu, ia akan berkoordinasi dengan Perempuan Diaspora NTT di Jakarta agar terus menjalin komunikasi dengan Mabes Polri guna mengawal jalannya penyelidikan.
“Saya juga meminta agar pelaku diberi hukuman yang setimpal, tanpa ada perlindungan hukum yang tidak adil. Karena jika hukum tidak ditegakkan dengan benar, maka kasus-kasus seperti ini akan terus terjadi,” tambah Asty.
Diskusi ini juga melibatkan Komunitas Perempuan Manggarai, Yayasan I. J Kasimo, PADMA, KOMPAK dan beberapa pemerhati isu perempuan dan anak lainnya.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap maraknya kasus kekerasan seksual di NTT, Forum Perempuan Diaspora NTT mengeluarkan empat tuntutan:
- Mengutuk keras kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada.
- Mengadili pelaku dengan hukuman seumur hidup dan kebiri kimiawi, serta pemecatan tidak hormat dari kepolisian.
- Memastikan perlindungan dan pemulihan hak korban melalui LPSK dan lembaga terkait.
- Menyelesaikan semua kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di NTT secara tuntas.
(*/BN/HN)