SOE, berandanusantara.com – Salah lokasi yang menjadi tujuan kunjungan kerja Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Lasikodat di daratan Timor adalah Desa Laob, Kecamatan Polen, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Di sana, Gubernur berkesempatan berdiskusi dengan warga dan tokoh agama guna menyerap aspirasi sekaligus mendengar berbagai keluhan warga setempat.
Kegiatan tersebut berlangsung dipusatkan di Gereja Ora Et Labora Baob, Klasis Molo Timur, Desa Laob, Jumat (21/1/2022), usai Gubernur meninaju Desa Binaan Bank NTT Ajaobaki, Kecamatan Molo Utara.
Dalam diskusi bersama Gubernur NTT yang saat itu didampingi sejumlah pimpinan SKPD, warga tak segan-segan menyampaikan unek-uneknya terkait berbagai kesulitan yang dialami mereka.
Warga mengeluhkan akses jalan yang terbilang sangat parah, listrik, sampai kepada pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) yang masih terkendala akibat berbagai kekurangan termasuk akses permodalan.
Namun, dari berbagai masukan dari warga, ada satu gagasan cerdas yang datang dari tokoh agama setempat. Gagasan itu datang dari Pendeta Bila Kuelher, Ketua Majelis Jemaat Ora Et Labora Baob, Des Laob.
Pendeta Bila mengatakan Desa Laob sangat terkenal sebagai daerah penghasil asam, khususnya desa-desa yang berada di Kecamatan Polen. Menurutnya, setiap tahun Desa Laob menghasilkan asam kurang lebih 100 ton.
“Tetapi sampai dengan saat ini masyarat belum pernah mendapatkan pemasukan atau keuntungan hingga Rp1 Miliar,” jelas Pendeta Bila.
Dia menjelaskan, saat pihaknya bekerjasama dengan Yayasan Alfa Omega (YAO) GMIT, dilakukanlah uji coba pengolahan asam sebanyak 64 kilogram sudah bisa menghasilkan uang sebanyak Rp6 juta lebih.
Oleh karenanya, dirinya bersama seluruh masyarakat Dess Laob telah bersepakat melalui pernyataan sikap, bahwa mulai tahun 2022 tidak akan menjual asam dalam bentuk mentah, tetapi harus diolah terlebih dahulu.
“Kami mau diolah menjadi produk jadi sehingga nilai ekonominya lebih meningkat ketimbang dijual dalam kondisi mentah,” ujar Pendeta Bila.
Secara logika, kata Pendeta Bila, apabila 1 kilogram asam diolah menjadi pasta harganya bisa mencapai Rp150 ribu. Sementara kalau dijual dalam kondisi mentah 1 kilogram asam hanya mampu menghasilkan uang Rp6,6 ribu.
Apabila Rp150 ribu dikalikan dengan 100 ton asam, lanjut Pendeta Bila, maka dalam satu tahun Dess Laob sebagai daerah penghasil asam sudah menghasilkan uang dengan hasilnya bisa mencapai pulihan miliar.
“Dengan hasil ini, kalau kedepan mau bangun jembatan pun kami bisa bangun sendiri dengan uang hasiln pengolahan asam,” kata Pendeta Bila disambut tepuk tangan Gubernur NTT dan para Pimpinan SKPD, serta seluruh masyarakat yang hadir saat itu.
Meski demikian, kata Pendeta Bila, masih terkendala dalam hal pemasarannya. Dalam dua tahapan kerja pengolahan asam, pihaknya mencoba membuka diri dengan jemaat-jemaat di Kota Kupang dan TTS, serta Pemerintah Kabupaten TTS.
“Saya bersukur dalam dua tahapan kerja pengolahan asam, ada dua Dinas yang sangat memberikan perhatian yakni Dinas Perhatian dan Bappeda. Apalagi dengan instruksi Gubernur agar semua PNS wajib mengkonsumsi pangan lokal,” katanya.
Menurutnya, pihak Pemerintah Daerah TTS sudah menjanjikan akan memberikan bantuan biaya produksi sebesar Rp75 Juta. Tetapi menurutnya, salah satu hal yang paling penting dalam usaha pengolahan asam adalah rumah produksi.
“Karena asam itu kami olah bukan hanya jadi pasta, jus dan lain sebagainya, tetapi biji asamnya juga akan kami olah jadi tepung untuk dijadikan pakan ternak dan biskuit untuk anak-anak. Proteinnya sangat tinggi,” ujar Pendeta Bila.
“Dengan begitu, kita tidak perlu lagi beli pakan ternak dan makanan ringan dari Pulau Jawa. NTT biss hidup bahkan sejahtera,” sambungnya.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat ketika diberi kesempatan menanggapi aspirasi warga, memuji ide dan gagasan dari Pendeta Bila. Menurut Viktor, ide dan gagasan yang disampaikan Pendeta Bila sangatlah cerdas dan brilian.
Pemerintah, menurut Viktor akan mensuport industri pengolahan asam di Desa Laob. Dia mengakui kalau jus asam yang diproduksi Yayasan Alfa Omega menjadi salah satu minuman favorit dan selalu dikirim ke Pulau Jawa.
“Nanti Kadis Perindustrian dan Perdagangan NTT akan menyiapkan agar isndustri pengolahan termasuk asam tidak lagi dikirim dalam bentuk bahan mentah, tetapi sudah dikelola menjadi bahan jadi,” tandas Gubernur. (*BN)