KUPANG, berandanusantara.com – Biyante Singh selaku Kuasa Hukum Yohanis Limau menilai pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) arogan, terkait status tanah yang kini akan dibangun Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Kupang di kelurahan Manulai II, kecamatan Alak, Kota Kupang.
Biyante juga menilai pernyataan yang dilontarkan Kuasa Hukum pemprov NTT, Fideon G. Siokain terkait keabsahan lahan pembangunan RSUP Kupang adalah gagal paham, bahkan tidak mengedukasi masyarakat, bukan sebaliknya.
“Pemerintah provinsi NTT diduga lakukan pembohongan terhadap pemerintah pusat dalam hal ini Presiden dan Menteri Kesehatan. Saya yakin mereka tidak menyampaikan fakta-fakta sebenarnya terkait status tanah yang sementara disengketakan,” tegas Biyante, Sabtu (5/12/2020).
Selain itu, Biyante secara tegas mengatakan bahwa pernyatan Kuasa Hukum pemerintah provinsi NTT juga diduga telah membodohi masyarakat. Menurutnya, perkara 2016 dan perkara lainnya tidak ada kaitan dengan perkara 208 yang didaftarkan pada bulan Agustus 2020.
“Penggugat Yohanes Limau tidak kaitannya dengan perkara – perkara sebelumnya,” ujar Biyante, yang saat itu ditemui di warung kopi (warkop), di seputaran Taman Nostalgia Kota Kupang.
Terkait sertifikat yang dipegang oleh Pemprov NTT, Biyante mengatakan berkas tersebut merupakan produk tatausaha negara, namun diduga kuat, sertifikat tersebut dibuat pada malam hari.
“Kenapa demikian, sebagaimana berkas yang saya miliki, di tahun 2016 masih ada sengketa perdata antara Samuel Penun dkk, menggugat pemerintah dan pada saat itu sertifikat diterbitkan oleh kepala kantor pertanahan Kota Kupang, yang dalam gugatan kami 208, dia sebagai tergugat 4,” urainya.
Kuasa Hukum Yohanes Limau, menilai pemerintah provinsi NTT sangat arogan dan tidak memghormati proses hukum atas lahan sengketa di Manulai II. Pasalnya, saat ini proses peradilan sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Kupang, tapi pemerintah malah melakukan peletakan batu pertama.
“Minggu lalu dalam sidang di PN, kuasa hukum mengatakan pengafilan tidak berhak memeriksa, memagdili dan memutus perkara 208, dengan menggunakan acuan kewenangan absolut karena tanah itu sudah bersertifikat dan sertifikat tersebut harus dibatalkan di PTUN, dengan demikian ada putusan sela, dan dalam putusan Seka, eksepsi mereka ditolak,” jelas Biyante.
“Dengan demikian, Pengadilan Negeri berhak memeriksa, mengadili dan memutus masalah ini,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Biyante meyakini banhwa pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur sangat paham jika lahan yang diserahakan ke kementerian kesehatan untuk pembangunan RSUP merupakan lahan sengketa, namun diduga sengaja tidak memghormati proses tersebut.
“Harapan saya, pemerintah sebagai harusnya memberi contoh bagi masyarakat agar menghormati proses hukum yang ada, jangan bersikap anarkis, otoriter dan lain sebagainya,” pungkasnya.
“Kami mendukung pembangunan RSUP, namun kami berharap pemerintah juga menghargai hak kami dan menghormati proses peradilan yang sedang berlangsung”, tambah Biyanka.
Dikatakan Biyante, sidang lanjutan kasus perdata nomor 208/Pdt.G/2020/PN.KPG, akan dilanjutkan pada Rabu, (9/12/2020).
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Tim Kuasa Hukum yang diwakilkan oleh Fideon G. Siokain, SH., menegaskan lahan untuk pembagunan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Kupang, di Kelurahan Manulai II, Kecamatan Alak, Kota Kupang, sah milik pemerintah provinsi NTT.
Berikut isi klarifikasi tertulis dari Kuasa Hukum pemprov NTT;
1. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur telah melakukan pelepasan Hak dari Saudara Thomas Penun Limau tanah seluas 55 Ha, yang terletak di Desa Manulai II Kabupaten Kupang (Sekarang Kelurahan Manulai II, Kecamatan Alak Kota Kupang) untuk kepentingan relokasi 61 KK sebagai dampak pembangunan PT Semen Kupang. Untuk proses pembebasan Tanah seluas 55 Ha ini, Kepada Almarhum Thomas Penun Limau diberikan Ganti Rugi uang sebesar Rp. 4.500.000,-( Kuitansi Tanggal 7 Januari 1983), selain itu juga diberikan Ganti rugi jasa garapan kepada para Penggarap (13 orang) di atas bidang tanah yang dibebaskan sebesar Rp. 3.986.885 (tiga juta sembilan ratus delapan puluh enam ribu delapan ratus delapan puluh lima rupiah) sesuai daftar kolektif tanggal 7 Januari 1983;
2. Setelah menerima Ganti Rugi sebesar Rp. 4.500.000, Alm. Thomas Penun Limau membuat Pernyataan Pelepasan Hak Nomor: 02/AGR/KPG/1983 tanggal 10 – 1- 1983 atas tanah seluas 550.000 M2, yang terurai dalam Peta Situasi Tanah tanggal 10 – 1 – 1983 Nomor 1/83;
3. Pada hari Kamis, tanggal 12 September 2013, Fransina Manafe – Penun,dkk (8 orang), melalui Kuasa Hukumnya yaitu: Ferderikus Eklopas Loudoe, SH, Albert M. Ratu Edo, SH dan Yoyarib Yeduton Manafe, SH mengajukan Gugatan Wanprestasi kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur di Pengadilan Negeri Klas IA Kupang yang tercatat dalam register Perkara nomor 144/Pdt.G/2013/PN-KPG yang intinya menyatakan Tergugat Menguasai Obyek Sengketa tidak berdasarkan hukum merupakan perbuatan wanprestasi/ingkar janji terhadap Thomas Penun Limau(almarhum), karenanya Pernyataan Pelepasan Hak dengan Nomor 02/AGR/KPG/1983 tanggal 10 Januari 1983 harus dibatalkan demi hukum;
4. Bahwa perkara dimaksud telah diputus pada tanggal 24 Juni 2014 dengan Isi Putusan:
Dalam Eksepsi :
– Mengabulkan Eksepsi Tergugat
Dalam Pokok Perkara:
– Menyatakan Gugatan Para Penggugat Tidak Dapat Diterima(Niet ontvankelijke verklaard);
– Menghukum Para Penggugat secara Tanggung Renteng untuk membayar biaya perkara yang hingga hari ini ditetapkan sejumlah Rp.3.786.,000,-( tiga juta tujuh ratus delapan puluh enam ribu rupuah).
5. Selanjutnya Putusan Perkara Perdata Nomor 144/PDT.G/2013/PN.KPG tanggal 24 Juni 2014 telah Berkekuatan Hukum Tetap pada Tanggal 08 Juli 2014 berdasarkan Surat Keterangan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Klas IA Kupang Nomor W26.U1/5072/HT.04.10/XI/2014 tanggal 21 Nopember 2014;
6. Bahwa pada Tahun 2016 para Penggugat melalui Kuasanya kembali mengajukan Gugatan kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur di Pengadilan Negeri Klas IA Kupang yang tercatat dengan register Perkara Nomor: 61/Pdt.G/2016/PN.KPG yang pokok Gugatannya yaitu Perbuatan Melawan Hukum atas sebidang tanah yang berukuran kurang lebih 20 Ha (200.000M2) yang terletak di Kelurahan Manulai II, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Bapak Gubernur memberikan Kuasa kepada Biro Hukum Setda Provinsi NTT dengan Surat Kuasa Nomor: HK.022.2/06/2016 tanggal 26 Mei 2016;
7. Bahwa Obyek Sengketa dalam Perkara ini seluas 20 Ha (200.000 M2), yang merupakan bagian dari Obyek Sengketa dalam perkara terdahulu yang seluas 55 Ha (550.000 M2);
8. Terhadap perkara Nomor: 61/Pdt.G/2016/PN.KPG ini telah diputus pada tanggal 31 Oktober 2016, yang amar Putusannya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
– Menolak Eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Sengketa:
– Menolak Gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
– Menghukum para Penggugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 1.221.000,- (satu juta dua ratus dua puluh satu ribu rupiah).
9. Terhadap Putusan Pengadilan ini para Penggugat menyatakan Banding dan selanjutnya mengajukan Memori Banding yang telah ditanggapi oleh Tergugat (Gubernur NTT) dengan Kontra Memori Banding tanggal 6 Februari 2017;
10. Putusan Pengadilan Tinggi Kupang Nomor: 64/PDT/2017/PT.KPG, tanggal 10 Mei 2017 yang amarnya sebagai berikut:
– Menerima permohonan Banding dari Pembanding semula para Penggugat;
– Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Kupang tanggal 20 Desember 2016 Nomor: 61/Pdt.G/2016/PN.KPG yang dimohonkan Banding tersebut;
– Menghukum para Pembanding semula para Penggugat untuk membayar biaya Perkara dalm kedua tingkat Pengadilan, yang tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).
11. Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi ini para Penggugat/Pembanding menyatakan Kasasi dan telah ditanggapi dengan Kontra Memori Kasasi tertanggal 11 Agustus 2017;
12. Putusan Kasasi Nomor: 424 K/Pdt/2018 tanggal 24 Mei 2018 dengan amar:
– Menolak Permohonan Kasasi para Pemohon Kasasi
– Menghukum para Pemohon Kasasi membayar biaya perkara dalam tingkat Kasasi sebesar RP. 500.000,-.
Bahwa Perkara Nomor: 61/Pdt.G/2016/PN.KPG telah berkekuatan hukum tetap.
13. Bahwa ada hubungan kekerabatan antara Yohanis Limau yang bertindak sebagai Penggugat saat ini dengan para Penggugat sebelumnya, karena salah 1 (satu) Penggugat dalam 2 (dua) perkara tersebut yakni Martha Limau-Penun adalah istri sah dari Yohanis Limau (Penggugat) dan para Penggugat yang lain adalah Iparnya;
14. Bahwa terkait dengan permintaan untuk menghentikan pembangunan RSUP Kemenkes dan eksekusi pengadilan ditanggapi sebagai berikut:
1. Bahwa dasar kepemilikan/Penguasaan Pemerintah Provinsi NTT adalah berdasarkan:
– Pernyataan Pelepasan Hak Nomor: 02/AGR/KPG/1983 tanggal 10 – 1- 1983 dari Thomas Penun Limau;
– Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 144/Pdt.G/2013/PN.KPG dan telah Berkekuatan Hukum Tetap pada Tanggal 08 Juli 2014 berdasarkan Surat Keterangan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Klas IA Kupang Nomor W26.U1/5072/HT.04.10/XI/2014 tanggal 21 Nopember 2014;
– Putusan Kasasi Nomor: 424 K/Pdt/2018 tanggal 24 Mei 2018 terhadap Putusan PN Klas I A Kupang Nomor: 61/Pdt.G/2016/PN.KPG dan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 64/PDT/2017/PT.KPG dan telah berkekuatan hukum tetap;
– Sertifikat Hak Pakai Nomor: 7 Tahun 2016 seluas 231.524 M2.
2. Bahwa Suatu Keputusan/tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap benar dan sah serta segera dilaksanakan sebelum ada keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa keputusan itu tidak berlaku. Berdasarkan asas praduga Rechtmatig/Presumptio iustae causa bahwa keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus dianggap sah secara hukum sampai dengan adanya keputusan Pengadilan yang menyatakan sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan perlindungan (protection), pelayanan umum (public service) dan mewujudkan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat dapat berjalan. Asas ini dimuat dalam pasal 67 ayat 1 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan “gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang digugat”;
3. Bahwa Pasal 50 huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur mengenai larangan untuk melakukan sita atas aset milik negara yang berbunyi:
Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Larangan sita Jaminan barang Milik Negara/Daerah ini juga telah dikuatkan dengan Putusan MK Nomor: 25/PUU/VII/2009 dan Fatwa Mahkamah Agung RI Nomor: 088/KMA/V/2008 tanggal 8 Mei 2008 tentang Ijin eksekusi Vonis Dading
Demikian klarifikasi Pemerintah Provinsi NTT atas pernyataan Biyante Singh, SH terkait Permasalahan Tanah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas 55 Ha di Kelurahan Manulai II, atas perhatian diucapkan terima kasih.
an. Tim Kuasa Hukum Gubernur NTT,
FIDEON G. SIOKAIN, SH
(*BN/Tim)