OPINI
*oleh: Marianus Viktor Ukat
Mahasiswa Fakultas Filsafat, Unwira
Peradaban mutakhir ini membuat manusia semakin gempar dengan hadirnya Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Kecerdasan ini menjadi sarang perjumpaan bagi siapa saja dalam ruang dan waktu. Dalam penjabarannya, segala sesuatu sudah dalam pantauan AI yang telah disistematisasikan secara algoritma. Karena itu, hadirnya AI gempar membombardir kita saat ini untuk mempertanyakan keberadaan kita sekaligus mengeksplorasi karakter diri kita bersama kecerdasan buatan.
Dalam diskursus perubahan zaman, AI menjadi penanda suatu zaman yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri, AI membawa banyak perubahan yang secara komprehensif merubah gaya hidup kita dan lingkungan tempat tinggal kita dari waktu ke waktu; entah itu dalam hal positif ataupun negatif. Konkretnya, ketika kita mengakses masuk dalam bingkai AI, ada kecenderungan dari kita untuk memperoleh data yang serba cepat. Alhasil, kecerdasan buatan ini memberi jawaban secara terstruktur berdasarkan pertanyaan yang kita berikan. Jawaban yang diberikan seolah-olah berkontribusi bagi fenomena privat kita. Inilah cara bermain teknologi yang acapkali menggambarkan apa yang terjadi ketika kita mengakses sesuatu dalam AI.
Lantaran jejak AI (artificial intelligence) atau mesin cerdas adalah novum dalam sejarah – kehadiran AI tidak terpikir sebelumnya. Secara praksis, AI merupakan cabang khusus dari teknologi yang orientasinya pada penerobosan diri dari perilaku kecerdasan buatan manusia dan bertujuan membantu manusia (Pakpahan, 2021). Maka, tidak heran AI atau kecerdasan buatan ini hadir membantu manusia dalam pekerjaannya. Hemat saya, AI mampu membuat keberadaan diri seseorang untuk melihat, merasakan bahkan memaknai suatu informasi yang ditawarkan kepadanya secara parsial. Namun, apakah kita mampu memproteksi diri terhadap buzzer mesin cerdas ini? Tentu hal ini menunjukkan adanya eksistensi yang selalu menarik kita untuk semakin mencari dan terus mencari apa yang ditawarkan kepada kita sehingga membuat kita mudah tergiur untuk semakin menemukan finisnya.
Jika pada zaman sebelum adanya teknologi seringkali manusia tidak menemukan apa yang diketahuinya dari konsep-konsep abstrak, kini secara sempurna AI marak menjadi hal yang diagung-agungkan sehingga banyak ditemukan lapangan pengetahuan tanpa batas. Maka, sejak dini dalam menghadapi mentalitas kebiasaan men-klik di dalam AI yang tergolong rendah, perlu bagi setiap kita untuk menyadari penuh akan gaya hidup di tengah zaman ini. Karena itu, muncul pertanyaan sederhana untuk kita; bagaimana cara kerja AI? Banyak dari kita saat ini malah tidak menyadari akan hal ini sehingga mudah terhibur dengan instan dan merasa nyaman. Namun, perlu ditinjau akan keaslian dari kecerdasan ini dengan kekuatan bernalar. Maka, ratio atau cara berpikir menjadi masalah urgen yang miris bila kurang diverifikasi ketika berhadapan dengan AI.
Lantas, manusia semula yang divalidasi sebagai homo sapiens kini menjadi homo digitalis (Hardiman, 2021). Dinamika ini cenderung mengarah demi ego semata. Hakikatnya, kecerdasan buatan dengan berbagai status yang diberikan kepada kita adalah sebuah alat. Maka dari itu, segala sesuatu yang terjadi ketika kita berhadapan pada AI adalah kemampuan kita menggunakan nalar dengan bijak dan memanfaatkan kesempatan ini untuk memberdayakan diri dalam pencarian jati diri kita yang sesungguhnya di era saat ini.
Resepsi Makna Hidup di Era AI
Dunia dewasa ini memberikan kemudahan yang tergolong familiar. Kita mulai masuk dalam penampilan diri sebagai seorang yang mampu menjadikan apapun yang dikehendaki. Untuk itu, apapun dikehendaki mempunyai tantangan yang cukup serius. Hal ini terlihat dari dasar citra diri kita sebagai manusia yang selalu ingin mencari tahu dan tidak mudah puas akan hal yang diperkenalkan kepada kita. Faktor ini yang membuat kita selalu saja melakukan berbagai cara untuk menggapai apa yang diyakini sebagai akhir dari tujuan pencarian makna hidup.
Semakin besar keyakinan ini maka berujung pada kekebalan diri untuk mengonsumsi AI yang adalah senjata ampuh melawan keburukan bahkan kejahatan dan lingkungan sekitar. Ironisnya, semakin liar kekuatan AI maka ia mampu menjawab dengan leluasa pertanyaan seputar apa yang ingin diketahui oleh kita; jika kita tidak mampu memiliki karakter diri untuk memfilterisasikan informasi tersebut. Informasi yang beredar seringkali memiliki makna yang hampir persis sama. Di sini muncul ambiguitas diri bagi kita untuk menemukan manakah informasi yang membawa keuntungan atau kerusuhan, kemakmuran atau kemusnahan. Demikian menjadi lazim permasalahan yang terus dibicarakan saat ini.
Adapun informasi yang diberikan kepada kita sebaiknya harus difilter secara bijak dan efisien agar memperoleh makna bagi perkembangan diri demi masa depan kelak. Salah satu contoh cara yang sederhana adalah meminta bantuan jawaban dari chatgpt. Saat jawaban di jabarkan, bagi kita, harus punya sikap kritis, kreatif dan inovatif sehingga kita tidak mudah jatuh dalam sikap yang copy-paste lalu meyakini jawaban itu sebagai kebenaran yang sudah pasti.
Padahal makna yang terkandung di dalamnya mengandung kekeliruan beresiko kemalangan pribadi. Maka, perlu juga bagi setiap kita untuk menyadari diri akan keberadaan sebagai pengguna yang tidak mudah jatuh dalam informasi yang keliru dan membutakan diri. Maka dari itu, perlu bagi kita menemukan makna hidup yang tergolong eufemisme (pemanis) agar euforia kehidupan selanjutnya menjadi bermanfaat bagi perkembangan diri di dalam ruang dan waktu di zaman yang terus berubah.
Privatisasi Harus diberi Asupan
Dunia sekarang lebih terlena untuk hidup yang instan bersentimen. Sejak awal kemajuan teknologi selalu memberikan pesona yang indah, mahal, bahkan manifestasinya membawa kebahagiaan. Dalam bahasa saat ini disebut sebagai teknofilia. Teknofilia menunjukkan keberadaan diri kita untuk memastikan mana jalan yang dilalui sesuai dengan intuisi dalam diri kita. Hemat saya, jika yang kita rasakan adalah sesuai dengan ekspetasi kita maka AI bisa membantu untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sebaliknya, jika perasaan yang ditimbulkan adalah kekecewaan maka akan melahirkan kebencian bagi kita dan sesama. Kebiasaan inilah yang membuat kita semakin mencari mana keberadaan diri yang cocok bagi jati diri kita.
Oleh karena itu, semakin banyak budaya yang berkembang, kita semakin melupakan keberadaan diri kita. Semakin besar kekuatan teknologi, semakin besar pula kejahatan yang terjadi. Hal ini bila kekuatan diri kita lemah menghadapi marak kecanggihan AI.
Banyak intensi dari diri kita yang tergolong rendah kemudian menyebabkan litani kehidupan yang kita alami mulai redup karena kecanggihan kecerdasan ini. Untuk itu, kini kita mulai memperhitungkan diri kita sejauh mana kita mampu mencari kebahagiaan dalam hidup ini. Maka, hal privat kita terbelenggu untuk nafsu pada ketenangan dan kenikmatan yang ada dalam AI. Hal-hal privat kemudian menjadi salah satu problem yang serius untuk diberi asupan.
Kecenderungan yang terjadi, masalah privat seringkali diumbar-umbar secara terus terang bahkan berlebihan di media sosial (medsos). Bagi kita yang melakukan hal ini adalah suatu bentuk gaya untuk dilihat oleh semua orang agar tahu apa yang dirasakannya. Padahal, cara ini menunjukkan eksistensi diri yang menghamba pada teknologi atau lebih tepatnya kerdil dalam pola berpikir. Justru seharusnya yang terjadi, kepiawaian teknologi itu hadir memudahkan pekerjaan kita bukan malah merendahkan segala cara hidup kita. Melihat hal ini, seperti yang dikatakan oleh filsuf, Martin Heidegger (1889-1976), “manusia berada dalam situasi yang mengherankan karena sesungguhnya apa yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia justru menjadi sulit dikuasai bahkan tidak mampu dikuasai” (Setyo & Wibowo, 2021). Ironisnya, apa yang kemudian dihasilkan oleh manusia untuk menguasai dunia, kini kembali mengusai manusia. Saya yakin kita terpenjara dalam hiburan kecerdasan AI. Inilah kemudian menyoroti rincian privasi kita dalam janji-janji teknologi.
Kita memiliki ketergantungan pada AI yang pada akhirnya diperbudak. Dalam hal ini, saya kemudian menemukan bahwa atas permasalahan yang terjadi ketika berhadapan dengan AI atau kecerdasan buatan, perlu bagi setiap pribadi memahami pentingnya etika. Etika menjadi jawaban yang keunggulannya menyatakan bahwa mencintai kebaikan dan menghindari keburukkan. Maka, kualitas ratio atau bernalar kita harus mampu memilah dan mendeskripsikan tawaran yang mana memberi pengaruh positif dan negatif dalam ranah etika agar kepribadian diri tetap bertumbuh dan berkembang menjadi jati diri yang unggul, cerdas dan kritis terhadap AI. Akhrinya, dalam menghadapi gejolak AI penting untuk kita mampu mengolah diri dan mengasah kebiasaan yang selektif dalam bingkai etika agar penguasaan diri menjadi semakin bermakna bagi masa depan sekaligus bermanfaat bagi kualitas diri sendiri yang sesungguhnya. *