Apolos Djara Bonga Tegaskan Pemberhentian Izhak Rihi Sebagai Dirut Bank NTT Sah

  • Whatsapp
Apolos Djara Bonga. (Foto: istimewa)

KUPANG, BN – Kuasa hukum pemegang Bank NTT, Apolos Djara Bonga, S.H, menyebut pemberhentian Izhak Eduard Rihi dari jabatannya sebagai Direktur Utama (Dirut) Bank NTT periode Juni 2019-Mei 2020 dianggap sah secara hukum.

Bahkan, semua hak Izhak Rihi sudah dipenuhi oleh Bank NTT, mulai dari jasa penghargaan, jasa pengabdian dan dana pensiun.

Read More

Menurut Apolos, berdasarkan Permendagri pasal 16, sudah jelas mengatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian dilakukan oleh gubernur selaku Pemegang Saham Pengendali atau PSP.

“Di pasal 16 itu sudah jelas. Jadi jangan lari ke peraturan lain seperti UU Perseroan Terbatas (PT). Karena itu sangat jauh antara langit dan bumi,” ujar Apolos, Rabu 4 Oktober 2023 siang.

“Jadi jangan membodohi masyarakat dengan pernyataan yang tidak tahu aturan. Itu hanya orang yang tidak baca referensi,” jelas Apolos menambahkan.

Menurutnya, penggunaan logo Garuda dalam SK pemberhentian Izhak Rihi dianggap sah, dan keputusan tersebut disampaikan ke Mendagri dan Bank Indonesia (BI) oleh gubernur.

“Itu tercantum di Permendagri pasal 26. Sedangkan di pasal 16 memberikan kewenangan kepada gubernur untuk mengangkat dan memberhentikan” tegasnya.

Dia menegaskan, uang yang ada di Bank NTT merupakan milik Pemerintah Daerah (Pemda), yang dikualifikasi sebagai uang negara.

“Atuan UU nya ada. Jadi jangan coba – coba menggembos menggunakan instrumen hukum atau mendalilkan dengan cara lain untuk mendapat uang, walaupun dalil nya itu adalah hak,” ungkapnya.

Karena, kata dia, seluruh hak dari yang bersangkutan sudah diterima. “Semua itu jelas di dalam Permendagri No 19 tahun 1999 dan Permendagri No 58,” tandasnya.

Kontroversi Rekaman

Dalam sidang lanjutan, Izhak Rihi selaku penggugat ingin mengajukan rekaman percakapan antara dirinya dengan mantan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat sebagai bukti.
Namun, kuasa hukum pemegang saham Bank NTT, Apolos Djara Bonga, S.H, mengungkapkan keberatannya terhadap penggunaan rekaman itu sebagai bukti dalam persidangan.
Apolos mengacu pada Pasal 31 UU ITE yang menyebutkan bahwa proses penyadapan atau perekaman yang didapat melalui cara yang ilegal atau tanpa izin tidak dapat dijadikan alat bukti.
Apolos juga mengingatkan bahwa Undang-Undang ITE mengatur masa kadaluarsa, ketika rekaman tersebut sudah lewat dari 6 bulan.
“Kalau sudah lewat 6 bulan itu sudah kadaluarsa dan tidak dapat lagi dilaporkan. Sedangkan kasus ini sudah 2 tahun. Apa yang mau dibuktikan,” tegas Apolos, Rabu 4 Oktober 2023.
Apolos mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab jika rekaman itu dibuka dan menjadi konsumsi publik, mengingat rekaman didapat dari proses yang dianggap tidak prosedural.
“Jika rekaman itu dibuka dan menjadi konsumsi publik, siapa yang bertanggung jawab? Sementara rekaman itu didapat dari proses yang tidak prosedural. Itu masalahnya,” ungkapnya.
Menurut Apolos rekaman itu bisa digunakan sebagai bukti, namun harus sudah melalui proses persidangan di pengadilan.
“Harus di Ingat bahwa keterangan yang membuktikan bahwa rekaman itu punya nilai bukti itu harus melalui sidang pengadilan,” tegasnya.
“Karena, pertama rekaman itu sudah kadaluarsa dan kedua proses itu melalui cara yang tidak prosedural. Karena harusnya ada izin dari yang bersangkutan,” tambahnya.
Dia menambahkan, jika rekaman itu dibuka dan ada hal yang menyinggung kliennya, maka mereka akan mengambil langkah hukum.
“Kami akan laporkan dan saya minta majelis jadi saksi, karena dia yang mengizinkan untuk membuka rekaman itu,” pungkasnya. (*/BN/HN)

Related posts