KUPANG, berandanusantara.com – Penetapan status tersangka terhadap Notaris Albert Wilson Riwu Kore dinilai belum kuat secara hukum. Ini lantaran proses penyelidikan melangkahi Undang-undang kenotariatan dan fungsi tugas pejabat notaris yang menjalankan perintah undang-undang.
Pakar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, Deddy Manafe, SH.,MHum menyampaikan bahwa kasus dugaan penggelapan sertifikat hak milik (SHM) yang dilaporkan BPR Christa Jaya Pratama harus dicerna secara mendalam.
Terdapat hal-hal teoritis yakni putusan praperadilan Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang yang menolak permohonan Notaris Albert Wilson Riwu Kore bukan hal yang mutlak. Pasalnya, itu hanya menguji secara formil 2 alat bukti, bukan pokok masalah.
Penetapan pasal 372 KUHP menjadi hal esensial atau pokok persoalan yang penting untuk dicermati. Terdapat 2 hubungan hukum yakni kontraktual atau perjanjian kredit antara BPR Christa Jaya dan penerima kredit yakni Rachmad, SE. Kemudian, perlu diketahui seperti apa hubungan hukum antara 2 pihak; pemberi dan penerima kredit dengan Notaris Albert Wilson Riwu Kore. “Oleh karena itu di sinilah titik pidananya yaitu menguasai. Artinya menguasai ini tidak selamanya harus memiliki, karena selama sertifikat itu ada pada notaris, maka notaris menguasai secara fisik tapi bukan pemilik,” ungkap Deddy.
Dalam hubungan tersebut, penyidik juga harus mengetahui apakah ada kontrak secara hukum antara 2 pihak yang berproses kredit dengan Notaris Albert Riwu Kore, sehingga bisa memastikan bahwa Albert melakukan penggelapan. Apalagi Albert menjalankan profesi yang diperintahkan undang-undang sebagai notaris.
“Tetapi karena profesi Pak Albert sebagai notaris, maka sebagai notaris pun dia terikat dengan Undang-undang Kenotariatan. Yang di dalamnya juga memerintahkan tentang kode etik, bahkan di dalam Undang-undang Kenotariatan itu ada pengawas notaris,” jelas Deddy.
Oleh karena itu, ia menegaskan, prosedur pada tindak pidana yang dilakukan penyidik Polda NTT, sebelumnya harus melalui tahapan atau mendapat rekomendasi dari organisasi notaris yang mewadahi Albert Wilson Riwu Kore sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Pasalnya, profesi notaris adalah perintah Undang-undang.
“Pertanyaannya apakah tahapan-tahapan dalam Undang-undang Kenotariatan itu sudah diikuti atau belum. Kalau itu belum diikuti maka ini prematur, karena dalam proses ini tidak ada tertangkap tangan,” tegasnya.
Ia menjelaskan, profesi notaris harus dihargai, sebab yang dilaksanakan adalah undang-undang, sehingga tidak gampang seorang notaris dipidana.
Terpisah, Kuasa Hukum Albert Wilson Riwu Kore, Dr. Yanto Ekon, SH.,M.Hum menyampaikan dalam putusan Majelis Kehormatan Notaris, baik di wilayah maupun pusat, telah menyatakan Albert Wilson Riwu Kore tidak bersalah.
“Menyatakan itu tidak bersalah dengan alasan bahwa sertifikat itu diambil sendiri oleh pemilik, dan sampai saat ini tidak ada akta hak tanggungan,” jelasnya.
Dipaparkan Yanto, pada Keputusan Majelis Pengawas Notaris Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 02.M.MPWN/IX/2019 memutuskan menolak usulan dan rekomendasi dari Majelis Pengawas Notaris Daerah Kota Kupang untuk menghukum terlapor (Albert Riwu Kore) karena telah melanggar kode etik notaris. “Karena itu pertimbangannya tidak ada kesalahan menyangkut pelanggaran kode etik,” ucap Yanto.
Selain itu, di tahun 2020, ada juga keputusan Majelis Pemeriksa Pusat Notaris, dikarenakan ada upaya banding BPR Christa Jaya Pratama atas nama Lani M Tadu, maka putusan nomor 17/B/MPPN/III/2020 tersebut menyatakan majelis tidak menemukan pelanggaran yang dilakukan Albert Wilson Riwu Kore alias bersih dalam menjalankan perintah undang-undang tentang notaris.
“Saya menyatakan bahwa penetapan tersangka dari sisi kualitas alat bukti itu menurut kami tidak memenuhi unsur pasal penggelapan,” pungkasnya. (*/BN/RNC)