Adhitya Nasution, Sosok Pengacara Muda di Balik Kemenangan ‘Helama Tona Ie’ di MK

  • Whatsapp

KUPANG, berandanusantara.com – Kiprah pengacara muda Adhitya Nasution bersama tim di level nasional tidak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang sukses mendampingi Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua, Nikodemus Rihi Heke dan Johanis Uly Kale (Helama Tona Ie) saat memenangkan persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) itu, punya segudang pengalaman.

Meski usianya masih muda, Adhitya Nasution ternyata punya visi dan misi yang sangat matang. Profesi yang digeluti selama bertahun-tahun itu telah menorehkan namanya sebagai salah satu advokat yang patut diperhitungkan secara nasional atau bahkan internasional.

Read More

Ia juga sukses membangun Kantor Pengacara Adhitya Nasution & Partners (ANP) dan mendampingi sejumlah persoalan hukum di Indonesia. Meski ruang beracaranya di level nasional, namun Adhitya Nasution punya komitmen membangun masa depan hukum di NTT yang lebih objektif dan rasional.

Pilihan Menjadi Advokat

Adhitya bercerita, motivasinya untuk terjun ke dunia advokasi karena orang tuanya merupakan salah satu penggiat di dunia hukum. Dia sendiri memilih jalur yang berbeda yaitu menjadi advokat. Meski demikian, dia mangaku terjun ke dunia hukum merupan pilihan pribadi, tanpa intervensi orang tuanya.

“Saya merasa tantangannya lebih banyak, dan kita tidak terikat dalam suatu dunia kedinasan. Jadi lebih leluasa untuk bekerja dan juga bisa memberikan banyak manfaat ke masyarakat luas,” bebernya, belum lama ini.

Adhitya memulai karirnya sebagai Pengacara pada tahun 2014. Saat itu, dirinya mulai bergabung dengan salah satu firma hukum di Jakarta, dan sempat menangani beberapa corporate. Dirinya juga bergabung dengan Kongres Advokad Indonesia (KAI) dan masuk dalam kepengurusan DPP maupun di Dewan Perwakilan Daerah.

Bersama ‘Helama Tona Ie’ di MK

Salah satu pencapaian fenomenal yang ditorehkan Adhitya Nasution adalah saat mengadvokasi kasus pada Pilkada Sabu Raijua. Dia pun mendampingi pasangan bertagline Nikodemus Rihi Heke–Johanis Uly Kale. Dia pun bercerita terkait keputusan dirinya mendampingi pasangan bertagline ‘Helama Tona Ie’ itu.

Menurut Adhitya, pertama yang dirinya lihat pada saat Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua, Nikodemus dan Pak Uly saat datang bertemu dirinya, yakni ada kejujuran dari kedua pasangan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa mereka telah berjuang apa adanya.

“Sehingga tergeraklah hati saya melakukan pembelaan dan memperjuangkan hak-hak mereka, selain kecintaan saya terhadap Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, saya pun tidak rela bila salah satu daerah itu dipimpin oleh warga negara asing,” katanya.

Menurutnya, kasus itu mencoreng citra Indonesia dan juga bisa jadi melemahkan semangat para generasi muda yang ingin berkarya dalam bidang politik. Apabila kasus itu dibiarkan, kata dia, bisa jadi generasi muda di bidang politik sudah tidak ada lagi semangat untuk berjuang di Pilkada, Pileg, Pemilu, maupun ajang demokrasi lainnya, karena mereka melihat adanya Bupati atau pemimpin daerah dipimpin oleh warga negara asing.

“Jadi alasan saya mau menerima tawaran untuk bergabung menjadi tim hukum Pak Nikodemus dan Pak Uly, itu lebih kepada kecintaan saya kepada Indonesia. Jadi jiwa nasionalisme saya terpanggil saat itu,” tegasnya lagi.

Adhitya mengaku, pada saat sidang di MK, presure dari pihak lawan maupun pihak luar itu banyak dialami. Pihaknya sangat sulit mendapatkan keterangan atau dokumen dari pihak-pihak yang memiliki kompetensi. Tetapi dirinya bersyukur, pihak Kedutaan Besar di Amerika maupun Konsulat Jenderal Indonesia di Amerika yang sangat jujur memberikan keterangan.

“Saya akui itu sangat membantu kami pada saat persidangan di MK kemarin,” kata Adhitya.

Bagi Adhitya, bersidang di MK itu lebih menantang, ketimbang pidana, tipikor, maupun TUN karena sidangnya cepat. Dia menyarankan para advokat muda untuk sesering mungkin mengikuti pelatihan. Apalagi menurut dia, biasanya MK selalu membuka pelatihan atau bimbingan teknis (bimtek) terkait penanganan Pilkada.

“Jadi biasanya sebelum Pilpres atau Pemilu, dari MK membuka bimtek. Jadi bimtek itu sangat bermanfaat. Kemarin kita bisa sukses di beberapa kasus di MK, itu tidak terlepas dari bimbingan para hakim konstitusi saat menggelar pendidikan. Karena di situlah sebenarnya kunci kita mengetahui kiat-kiat bagaimana beracara di MK,” ujarnya.

“Jadi bisa lancar dan sesuai target yang diharapkan, karena itu semua sudah diajarkan saat bimtek. Kebetulan saya di tahun 2019 sudah mengikuti bimtek, jadi tidak ada permasalahan yang muncul. Hanya terkait materi yang bebeda-beda, tetapi itu semua bisa diselesaikan,” sambungnya.

Saat dinyatakan menang dan harus dilaksanakan PSU di Sabu Raijua, Adhitya mengaku itu merupakan suatu kepuasan tersendiri, bahkan tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Apalagi dirinya mengaku, saat mendampingi Nikodemus Rihi Heke dan Johanis Uly Kale, tidak menarik biaya sepeserpun.

“Jadi balik lagi itu dilandasi oleh rasa nasionalisme saya, terlepas dari politik, bahwa saya sebagai warga negara Indonesia saya juga disumpah mengabdi terhadap bangsa dan negara, berdasarkan UU Advokat No 18, untuk menjunjung tinggi kedaulatan RI,” ujarnya.

“Jadi bangga tentunya, karena yang kita lawan adalah partai besar dan orang yang tidak berhak. Itu menjadi suatu kepuasan tersendiri,” katanya.

Adhitya Nasution mengaku sangat tertarik dengan kondisi politik dan hukum di NTT. Menurut dia, ada banyak hal yang masih perlu dibenahi, terutama pada sistem data kependudukan baik di Kabupaten, di Kota maupun di Provinsi, sehingga tidak lagi terulang kembali seperti yang terjadi di Sabu Raijua.

“Selain merugikan masyarakat yang memilih, kasus Pilkada Sabu Raijua juga bisa merugikan negara tentunya. Jadi kita dengan tim berkomitmen untuk bisa membangun bersama di Kabupaten Sabu Raijua, dan tentunya di Nusa Tenggara Timur,” tandasnya.

“Mungkin ke depannya kita akan mendirikan kantor hukum atau firma hukum untuk mengakomodir dan mengadvokasi permasalahan-permasalahan hukum yang dialami oleh warga Nusa Tenggara Timur,” katanya.

Menurut Adhitya, NTT punya banyak potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat luar biasa. Kalau potensi itu dimanfaatkan atau dimaksimalkan dengan baik, maka baik SDM maupun SDA di NTT itu tidak akan kalah saing dengan provinsi lainnya.

Dia mengatakan sangat penting untuk menghilangkan stigma-stigma buruk selama ini terkait dengan orang Indonesia timur.

“Kalau kita bisa melakukan hal positif bagi masyarakat dan negara, saya yakin stigma-stigma di masyarakat yang kurang berkenan terkait orang-orang dari Indonesia timur dapat terkikis,” tegas Adhitya.

Harapan untuk NTT

Untuk masyarakat NTT khusus dalam bidang hukum, Adhitya ingin menyarankan bahwa hukum itu harus dilihat secara objektif, rasional dan berdasarkan fakta. Artinya, harus melihat segala sesuatu tidak hanya dengan sebelah mata.

Terkait dengan permasalahan hukum di NTT, lanjut Adhitya, semuanya itu bisa diselesaikan di luar pengadilan atau yang kita kenal dengan restorative justice.

“Bagi saya, restorative justice itu tidak hanya berlaku pada hukum pidana saja, namun itu juga bisa diterapkan pada permasalahan perdata atau yang kita biasa kenal dengan mediasi. Semoga masyarakat NTT, dan Sabu Raijua tetap semangat dan tetap optimis,” tuturnya.

“Begitu juga generasi muda di NTT, saya harap bisa kembali bergairah menggeluti semua bidang, baik itu politik, hukum dan bidang-bidang lainnya yang sekiranya bisa membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat NTT,” pungkasnya. (*/BN/KN)

Related posts